Pages

Cita dan Cinta

Selasa, 23 April 2013

Bismillahirrahmanirrahim




Cita dan Cinta

Ya, ini tentang perjalananku. Entahlah. Setiap aku berpikir tentang cita-cita aku juga berpikir tentang cinta. Cinta???. Jangan kira aku berpikir tentang cinta yang macam-macam. Aku hanya berpikir tentang cinta terhadap kedua orang tuaku.

Sekarang aku sudah menginjak kelas dua belas di sebuah sekolah yang Subhanallah hebatnya. Bahkan sekarang ini aku tinggal menanti hasil dari ujian-ujian yang telah ku lewati... LULUS atau TIDAK. Meski dalam hati aku percaya aku akan menerima kelulusan itu.

Seperti yang lain, aku harus menentukan arah hidupku sekarang. Apakah aku akan kerja atau kuliah. Kedua orang tuaku membebaskanku untuk memilih antar kedua hal itu. Terimakasih untuk Mama dan Papa.
Aku memutuskan untuk kuliah. Aku memiliki keinginan yang besar untuk melanjutkan pendidikanku ke Universitas ternama seperti UI, UGM, Unpad, IPB, bahkan ITB. Hingga pada suatu hari seorang guruku mengatakan bahwa ada jalur undangan diploma untuk IPB. Awalnya aku tak tertarik, sama sekali tidak. Sayangnya, lambat laun aku hal ini menarikku seperti medan magnet. Aku benar-benar mengajukan diri untuk jalur undangan itu. Segala sesuatunya ku persiapkan, dari mulai nilai rapot sampai dengan surat keterangan sehat. Saat segala sesuatunya kuserahkan, aku tinggal diam menunggu hasil.

Hari terus berlalu, segala yang ada akan berubah. Entah itu berkurang atau bertambah. semuanya alami mengalami suatu siklus kehidupan. Aku tak merubah impianku untuk kuliah. Dalam hati aku menetapkan "Pokoknya aku akan kuliah diantara lima universitas ternama itu. kalau bisa aku ingin ke luar negeri saja sekalian. Bobot ilmunya akan membantu pola pikirku menjadi lebih berkembang dan berbobot.".

Bagai batu yang terus menerud terkikis oleh tetesan air, kekeras kepalaan ku itu akhirnya hancur juga. Hari itu, seseorang bertanya padaku tentang Universitas yang akan aku pilih, dan dengan semangat serta optimisme tinggi aku menjawab semua itu, termasuk tindakanku untuk mengikuti jalur undangan diploma IPB. tetes air pertama jatuh pada sebuah batu.
Ya, pernyataan yang disampaikan bahwa aku hanya membuang-buang waktu untuk mengambil diploma, dan kenapa tidak langsung sarjana. -aku terima. Kedua, pernyataan tidak sangup mengahadapiku yang susah untuk diberi nasihat, karena aku mengikuti kegiatan di luar sekolah yang katanya dapat mengganggu belajarku di sekolah. Aku hanya cukup fokus terhadap pelajaran di sekolah, meraih prestasi, karena kasihan terhadap orang tuaku yang sudah menyekolahkanku dengan mahal. Dan sebaiknya aku memilih Universitas yang dekat dengan rumah (sesungguhnya) - ku.

Beberapa poin aku terima, beberapa tidak. Aku tahu aku susah untuk diberi nasihat, dan memang sering aku melanggarnya. Namun, ini juga berkaitan tentang pencarian jati diriku (aku mengikuti rohis dan organisasi Keislaman pelajar). Apa aku salah mengikuti hal semacam itu, lagipula hal itu tidak pernah mempengaruhi nilaiku.

Tetesan berikutnya datang kembali, Hari itu papa meneleponku.
"kapan kamu pulang?" kata papa
"Ya nanti pa, kalau sudah liburan sekolah" jawabku kaget mendengar pertanyaan papa. Tidak biasa papa menanyaka kapan aku pulang.
"Papa sekarang sudah tidak kerja di Bali, papa kerja di Banyuwangi biar dekat dengan keluarga. Tapi di saat papa sudah pulang, kamu ngga ada. sampai kapan keluarga kita jauh-jauhan seperti ini. Dari kecil kamu sudah papa tinggal. Papa kangen kamu. Ayolah kita kumpul sekeluarga." papa berkata dengan tenang.
Aku tidak sanggup menjawab apa-apa, terdiam sesaat. Leherku seakan-akan tercekik, menahan isakan tangis yang jika tidak ku tahan akan berubah menjadi jeritan sedih.
"Iya pa." kataku pendek. aku tidak sanggup menjawab apa-apa lagi.

Setelah telepon di tutup, buyarlah semua tangisku yang saat itu sendiri di kamar. Aku tahu, sejak kecil mungkin berumur sekitar empat tahun, aku sudah di tinggal papa. lalu beberapa tahun bertemu kembal. Berpisah lagi di saat aku kelas 4 atau 5 SD. papa pulang dari Bali hanya setiap 2 minggu sekali. Bisa kau bayangkan, papa kerja jauh demi menghidupi keluarganya, menyekolahkanku dan adik-adikku. sekarang saat papa sudah kerja dekat dengan kami, aku sekolah jauh. Aku bisa saja kembali, namun aku memutuskan untuk kuliah di kota yang jauh dengan mereka, keluargaku tersayang.

Di lain hari, saat aku menelepon mama. Ku dengar suara mama berbeda dari biasanya. Mama sakit, dan pekerjaan rumahnya belum selesai. Adikku semua laki-laki, ya kalian tahu.. sulit untuk menyuruh seorang anak laki-laki untuk bekerja semacam itu. yang bisa kukatakan hanyalah- maaf ma, aku ngga bisa bantuin mama sekarang. mama istirahat ya?. nanti kalau aku sudah pulang, aku yang bantu-bantuin mama, biar mama ngga cape ngerjain semua sendiri-

Aku memikirkan hal ini terus, berhari-hari. Di setiap doa dan sujudku, aku hanya mohon diberi petunjuk, 'apa yang harus aku lakukan ya Allah?' dengan derai air mata yang membasahi pipi dan tanganku yang memohon. di satu sisi aku ingin kuliah di Universitas-universitas itu, di sisi lain aku sadar -jauh di lubuk hatiku- aku merindukan keluargaku. Aku yakin, mereka akan membebaskanku memilih universitas manapun. Karena orang tuaku menilai, apapun pendidikan yang aku pilih yang menjalankan adalah diriku sendiri. Mereka hanya mengarahkan, dan menyampaikan pendapatnya.

Aku bukanlah tipikal orang yang kuat untuk lama berjauhan dengan orang yang aku sayang (keluargaku). Selama ini, rasa rindu itu teralihkan sejenak oleh pelajaran serta tugas yang mengisi hariku di sekolah - full time. Di saat aku mulai sendiri, tak ada kegiatan, aku kesepian, teringat kedua orang tuaku, di saat itu pula air mata kembali mengalir tanpa diundang. Sekeras apapun aku menahan, hal itu malah semakin membuat keras isakan tangisku.

Batu itu Mulai Hancur.
ya.. hari itu aku memutuskan untuk memilih Universitas yang letaknya lumayan dekat dengan kotaku. Tidak sedikitpun Univrsitas di kotaku yang menarik perhatianku. Aku akan kuliah di Jember (Farmasi). sambil mengisi formulir pendaftaran SNMPTn, aku menelpon mama dan papa bergantian, meminta pendapat mereka. Bagaimanapun Ridha Allah tergantung Ridha orang tua, terutama Ibu.
Setelah menimbang-nimbang jadilah Farmasi jember menjadi pilihanku. Sekarang ini aku hanya berdoa semoga Allah  memudahkanku masuk ke sana. Sudah saatnya ya Allah, aku berbakti kepada mereka, sudah banyak luka yang aku perbuat pada kedua orang tuaku, dan rasanya belum pernah ya Allah aku benar-benar berbakti pada mereka. Aku tidak ingin terlambat untuk berbakti dan membalas semua jasa yang mereka berikan, meskipun aku tahu jasa mereka seluas lautan dan balasanku hanyalah sebesar tetesan embun pagi.

Untuk universitas yang dulu-sampai sekarang aku idam-idamkan....
Aku tahu ya Allah, Engkau selalu memberikan yang terbaik untuk hambamu. Tidak sekarang, mungkin nanti, atau mungkin dengan yang lain. Aku percaya ya Rabb, rencanamu jauh lebih indah dari yang kami bayangkan.

Jalur undangan diploma IPB yang sempat aku ikuti-Alhamdulillah- aku tidak diterima 
;-)

Ya inilah ceritaku tentang sebuh cita dan cinta antara pendidikan dan cinta orang tua... Miss you Ma Pa

Tidak ada komentar:

Posting Komentar

 
FREE BLOGGER TEMPLATE BY DESIGNER BLOGS